Besok, salah satu sahabat gue menikah. Hal itu tentu saja membahagiakan buat gue karena:
- Gue sayang sama sahabat gue itu dan mau lihat dia bahagia.
- Gue tahu gimana perjalanannya dalam mencari pasangan.
- Gue selalu suka kisah cinta yang ‘out of the blue’ dan nggak biasa kayak kisah dia.
Menyiapkan diri untuk hadir di pernikahannya jadi hal yang menyenangkan buat gue. Mulai dari jahit seragam, beli beragam make up untuk dipakai di resepsi nya, sampai ke make up rehearsal a.k.a latihan make up demi untuk jadi bridesmaid yang layak tampil di resepsi perhikahannya. Seharian ini gue EXCITED. Sampai tiba-tiba, beberapa menit lalu pas gue mau tidur, gue inget sesuatu..
Besok, semua teman SMA gue akan berkumpul. Selain dia (si CPW), seluruh sahabat se geng gue di SMA ini sudah menikah dan punya anak. I am the last single woman. Bukan hanya lagi single dan sibuk kerja, gue pun lagi bermasalah dengan berat badan (baca: KEGENDUTAN). Gue yang tadinya excited pun berubah resah. Tiba-tiba merasa besok akan jadi santapan empuk orang-orang untuk ditanya tentang 2 hal ini:
- Lo kapan kawin / nyusul / nikah?
- Kok gendutan / sehat amat / makmur ya sekarang?
Ditanya ‘kok gendutan?’ udah jadi hal biasa buat gue. Gue pun sadar bahwa kenaikan berat badan gue ini ya gue sendiri yang menyebabkan, dan sekarang gue lagi berusaha mengatasinya. Jadi, walaupun komentar tersebut termasuk body shaming dan nggak seharusnya ditanyakan ke manusia manapun atas dasar basa-basi semata, gue udah cukup santai menghadapinya.
Yang membuat gue akhirnya bangun dari tempat tidur, nyalain lampu kamar dan sesegera mungkin ambil laptop untuk nulis keresahan ini adalah pertanyaan no 1:
LO KAPAN KAWIN??
1 pertanyaan. 3 Kata. 12 Huruf.
Pertanyaan ini sanggup membuat gue (dan gue yakin banyak wanita lain di luar sana) males datang ke resepsi pernikahan. Bukan karena gue nggak turut berbahagia atas pernikahan tersebut, tapi karena gue nggak mau merusak hari gue atau hari orang lain, hanya karena pertanyaan yang menurut seluruh bangsa Indonesia ini layak untuk dipertanyakan kepada pria / wanita yang sudah masuk usia menikah, hanya atas dasar basa basi, cari bahan obrolan atau ya buat ice-breaker aja biar nggak awkward pas lagi berdiri sebelahan makan kambing guling.
Kemana rasa bahagia gue untuk sahabat gue itu? Sekarang rasanya kok gue mau bailing out aja dari resepsi tersebut dan stay di rumah sambil nonton korea.
Sebenarnya bukan pertanyaan nya yang bikin gue resah. Gue punya 1001 jawaban template untuk itu, mulai dari yang sopan, religius, sampai rebellious, gue bisa jawab sesuka hati. Dan tentu saja gue nggak iri lihat orang lain yang sudah lebih dulu bahagia dengan pasangan dan keluarga kecilnya. Gue selalu percaya, semua orang punya waktunya masing-masing. Dan waktu itu sudah Tuhan tentukan sesuai dengan rencana Nya.
Yang membuat gue resah adalah perasaan yang ditimbulkan oleh pertanyaan tersebut. Gue, wanita 32 tahun, single dan bekerja, menjadi tulang punggung untuk ibu dan 2 orang adik. Gue bangga dengan kehidupan dan pencapaian gue. I am very proud of myself. Tapi kebanggaan tersebut bisa pelan-pelan pudar saat beberapa orang di satu acara / venue berbondong-bondong menyerang gue dengan pertanyaan ‘Kapan Kawin?’. Pertanyaan yang seolah-olah mengingatkan gue bahwa, sebesar apapun effort yang sudah gue lakukan untuk mencukupi keluarga, sekuat apapun energi yang gue keluarkan untuk menjalani hidup, gue belum jadi manusia yang utuh dan sukses. Gue masih gagal. Kenapa? karena gue BELUM KAWIN. Gue akan di cap sebagai failure.
Perasaan itu yang selalu gue hindari. Karena perasaan itu akan menggerogoti kepercayaan diri gue, dan itu nggak sehat.
Bisa kok nggak dibawa perasaan. Bisa kok dilewatin aja sambil lalu dan nggak dimasukin ke hati. Tapi kalau gitu kita akan selalu memaklumi mereka yang bertanya cuma karena iseng atau basa basi? Kita akan selalu memaklumi orang lain yang berusaha mencampuri urusan pribadi kita? Kita akan selalu memaklumi mereka yang bebas menilai hidup kita hanya dari status pernikahan?
Lelah lho itu. Coba deh kalau nggak percaya.
Daripada begitu, kenapa kita nggak mulai meng-edukasi diri dan orang-orang terdekat untuk mulai memperluas pandangannya. Bahwa untuk memulai percakapan dengan teman / kenalan yang sudah lama nggak ketemu nggak harus selalu dengan pertanyaan ‘Kapan kawin’ atau ‘kok gendutan / kurusan’. Bahwa lebih baik berdiri dalam diam daripada harus ‘kepo’ tentang hal yang pribadi. Dan bahwa nilai wanita tidak ditentukan oleh sudah menikah atau belum.
Gue seringkali diingatkan oleh teman yang sudah menikah, bahwa pernikahan bukanlah sebuah akhir perjalanan melainkan sebuah awal perjalanan baru. Karena itulah, sudah sewajarnya pernikahan tidak dijadikan tolak ukur kesuksesan seseorang. Karena untuk memulai sebuat perjalanan baru bernama pernikahan, dibutuhkan banyak hal baik secara fisik maupun mental. Dan karena ia sebuah perjalanan, maka mungkin saja kalau ada seseorang yang memilih untuk tidak menempuhnya. Tidak menikah bukan karena tidak mampu, namun karena memang bukan perjalanan tersebut yang dia cari.
Jadi kesimpulannya,
‘Kapan gue kawin itu sama sekali bukan urusan kalian’
Sekian curhatannya.
Semoga besok gue bisa bertahan selama akad dan resepsi.